Minggu, 05 April 2015

CERPEN "Malaikat Tanpa Mata"



"Malaikat Tanpa Mata"

Kehidupannya sekarang hanyalah malam dan akan selalu malam. Kegelapan, ketakutan, seakan sudah menjadi teman. 7 tahun telah berlalu dia hidup dalam kelam dan dalam gelap, yang dia tahu sekarang bukanlah keindahan dunia, melainkan keramaian dunia. Sejak kejadian itu, dia ditinggalkan teman-temannya bahkan sahabat-sahabatnya pun perlahan-lahan menjauh dan menghilang. Namun dia tidak pernah marah dengan semua yang menimpa dirinya karena tak perlu ada yang disesali dan disalahkan.

“Dio… makan dulu nak!!” terdengar suara lembut tanpa rupa yang menyadarkan Dio dalam lamunannya. “Iya Mah sebentar” Jawab Dio yang kemudian berdiri dengan dibantu sebatang tongkat hitam. Karena Dio terburu-buru akhirnya dia jatuh karena lantainya yang masih licin, “Haha dasar buta!” Terdengar suara cemoohan.
“Adit, bantu kakakmu berdiri Nak”
“Apa harus tiap hari aku membantu si buta ini?”
“Adit kamu ini kenapa sih? Ini Kakak mu!!”
Ibu memarahi Adit sambil berlari kecil mendekati Dio.
“Tak apa Mah, udah ya jangan marahin Adit lagian kan ini salah Dio juga yang kurang hati-hati tadi” Ucap Dio seraya meraba-raba lantai untuk mencari tongkatnya, Dan kemudian Ibu membantunya berdiri dan menuntunnya ke meja makan.
“Udah ya Kak jangan dimasukin hati omongan Adik kamu tadi!”
“Iya gak papa Mah, Dio enggak masukin hati kok perkataan Adit”
Kemudian Ibu mengambil piring dan lauknya untuk Dio.
“Maaf ya Mah Dio ngerepotin Mamah terus!”
“Kamu ngomong apa sih Kak, ini kan udah kewajiban Mamah juga, udah ah makan gih!”
“Iya makasih ya Mah”
Dan mereka pun menikmati makan malam bersama.

Setelah selesai makan, Dio pun langsung ke kamar sementara Ibu membereskan meja makan dan menunggu Ayah pulang kerja. *Teeeeet* terdengar suara klakson dari depan rumah Ibu pun langsung bergegas membukakan pintu.
Seperti biasanya setiap pulang kerja Ayah langsung mandi, Ibu pun menyiapkan kopi untuk Ayah. Dan setelah Ayah selesai mandi Ayah langsung menghampiri Ibu yang sedang duduk di samping tempat tidur.
“Ini kopinya Yah” Dengan raut wajah yang sedih
“Makasih Mah, kok Mamah terlihat sedih, enggak kayak biasanya?”
“Enggak apa-apa kok Yah, Mamah cuma lagi kepikiran sikap Adit kepada Dio”
Ayah pun meminum kopi dan menarik nafas, lalu duduk di sebelah Ibu.
“Maklumin aja Mah, suatu saat Adit juga pasti mengerti kok”
“Tapi Mamah enggak tega kalo Adit terus-terusan menghina Dio, Yah”
“Iya, tapi Ayah tau betul Dio itu anak yang tegar”
“Iya Mamah tau, tapi Mama gak bisa melihat sikap Adit yang seperti itu”
“Ya sudah Mah semuanya akan baik-baik saja kok, sudah malam Mah sebaiknya kita istirahat”
Ayah mengecup kening Ibu, lalu mereka pun beristirahat.

Pagi pun menjelang Dio pun mendengar suara seseorang membuka jendela.
“Bangun Kak sudah siang!”
“Iya Mah udah bangun kok”
Ibu pun memberi handuk kepada Dio.
“Mandi Kak biar seger”
“Iya Mah makasih ya Mah”
“Iya kak kalau sudah selesai mandi sarapan sama-sama yaa”
“Oke deh Mah”
Ibu pun membereskan tempat tidur Dio, setelah itu Ibu menghampiri Ayah dan Adit di meja makan.
“Mah aku makan duluan ah abis lama nunggu kak Dio mandi nanti aku telat”
“Ya sudah gak papa”
“Ayah makan duluan aja yah nanti Dio sarapan sama Mamah kok”
“Ayo Yah makan duluan aja nanti aku telat sekolahnya, Ayah juga entar telat loh kan udah jam setengah tujuh Yah”
Ayah hanya tersenyum sambil menyuap sesendok nasi

Setelah Adit dan Ayah selesai makan mereka pun berangkat, Dio yang sedang siap-siap untuk sarapan bersama mendengar suara mobil, dan dia tahu bahwa itu suara mobil Ayahnya, dia langsung bergegas ke meja makan.
“Mah, Ayah sama Adit udah berangkat ya?”
“Iya Kak mereka sudah berangkat” Jawab Ibu sambil menyiapkan piring untuk Dio.
Dio pun langsung duduk dengan wajah yang penuh penyesalan.
“Loh kamu kenapa, kok mukanya kusut begitu?”
“Gak papa kok Mah, Dio nyesel aja gak bisa sarapan bareng sama Ayah dan Adit”
“Udah udah gak papa kok, kan masih ada besok Kak. Makan gih”
Mereka melanjutkan sarapan dengan sesekali ngobrol. Dio yang tampak kurang semangat dan hanya mengaduk-ngaduk nasinya saja, hanya tiga suapan saja nasi yang masuk ke mulut Dio.
“Udah ya Mah, Dio kenyang”
“Itu kan masih banyak Kak, makan lagi dong”
“Beneran Mah Dio udah kenyang”
“Iya sudah gak papa, tapi entar makan lagi ya”
“iya Mah”
Kemudian Dio beranjak dari meja makan dengan dibantu sebatang tongkat menuju kamarnya.

Sesampainya di kamar Dio langsung duduk di samping tempat tidur tangannya memegang erat tongkat yang selama ini selalu menemaninya, selalu menuntunya dalam gelap, dan selalu melindunginya. Batinnya sakit ketika dia mendengar kata “teman” matanya berlinang air mata yang kemudian jatuh membasahi pipinya. “Kalian dimana?” Hatinya bertanya-tanya. “Apa kalian gak rindu padaku? Aku disini kesepian, apa kalian bisa merasakan apa yang saat ini aku rasakan?” Hatinya terus bertanya-tanya.
Tangisannya semakin menjadi, air matanya semakin banyak yang menetes, diletakan tongkatnya di lantai. Dio berbaring di tempat tidur hatinya masih bertanya-tanya dengan air mata yang terus keluar, *bukk* Dio memukul tempat tidur berkali-kali, semakin lama pukulannya semakin kencang.
“Dio, kamu kenapa Nak?” Ibu bertanya bingung.
Dio kaget dan tak menyangka kalau suara pukulannya terdengar sampai keluar kamar. Dengan cepat Dio langsung terbagun dan mengusap air matanya kemudian berkata. “Gak apa-apa Mah, Dio cuma lagi iseng aja tadi, hehe”
“Oh gitu toh, kiarin ada apa. Mamah tinggal dulu ya”
“Iya Mamah”

Ibu pun pergi, suara langkah kakinya masih terdengar jelas dan perlahan-lahan menghilang, *bug* pintu sudah tertutup. Dio pun berbaring lagi, hatinya kini sudah tenang tidak lagi bertanya-tanya. Dio sudah berjanji kalau dia harus kuat dia akan melakukan apa saja untuk melindungi adiknya, bahkan nyawanya pun ia rela korbankan demi adiknya. “Aku harus lebih kuat, gak boleh ada yang tau kalo aku serapuh ini!” ujarnya dalam hati dan kemudian Ia terlelap tidur.
*kreeeket* terdengar seseorang membuka pintu Dio terbangun dan segera bangkit dari tempat tidur.
“Bangun Nak udah siang, kita makan yuk. Kan tadi sarapannya cuma sedikit” Ajak Ibu
“Emang Adit udah pulang Mah?
“Udah kok, baru aja dia nyampe rumah”
“Makannya bareng Adit ya Mah”
“Iya, entar Adit Mamah yang ajak”
“Ya udah, Mamah duluan aja entar Dio nyusul”
Ibu langsung menglus-ngelus kepala Dio dan kemudian pergi. Dio meraba-raba lantai mencari tongkatnya Dio berdiri dan bergegas menuju meja makan.

“Adit, nak makan yuk udah ditunggu kakak mu nih”
“Males ah Mah, kalo mau makan, makan duluan aja lagian entar teman aku mau ke sini”
“Tapi kakak mu udah nungguin nak”
“Males Mah, lagian suruh siapa sih nungguin”
“Adit… kalo ngomong yang sopan ya Dio Kakakmu!”
“Iya si buta ini kakakku dan anak emasnya Mamah dan Ayah iya kan?”
Ibu menjawab dengan nada keras,
“Adit… kamu ini dasar…”
Dio langsung memotong perkataan Ibu.
“Mamah, udah Mah gak papa, kita makan berdua aja”.
“Kamu yang sabar ya Nak, Adik kamu emang kayak gitu orangnya” Hibur Ibu.
Dio tersenyum dan melanjutkan makan siangnya. Suap demi suap masuk ke mulut Dio hingga suapan terakhir.
Semakin siang cuacanya semakin panas, hawa panas mulai terasa Dio menyalakan kipas angin tapi sia-sia saja. Keringat yang mulai bercucuran memaksa Dio untuk pergi ke depan rumah mencari angin segar dengan dibantu tongkat kesayangannya Dio beranjak dari kamarnya.
Dio duduk di sebuah kursi kayu dan kemudian bersandar, tangannya terus mengipasi wajah dan badannya, “uhhh adeemm” ujarnya, setelah angin sepoi-sepoi berhembus menerpa tubuhnya.

“Assalamualaikum”
Terdengar suara beberapa anak mengucapkan salam, Lalu Dio menjawab.
“Wa’alaikum salam”
“Maaf Kak, Aditnya ada?”
“Oh iya iya ada kok, sebentar ya Kakak panggilin dulu”
Dio beranjak dari kursi, dengan dibantu tongkat kesayangannya dia berjalan menuju kamar Adit.
*tok tok tok* Dio menetuk pintu kamar Adit dan berkata.
“Adit, teman-teman kamu udah nyampe Dik”
Beberapa saat kemudian Adit membuka pintu dan langsung memarahi Dio dengan nada yang sangat kesal.
“Heh buta, ngapain sih lu di luar? Bikin malu gua aja tau gak?”
Dio kaget luar biasa, Ia menjawab dengan nada penuh penyesalan.
“Maaf Dek, tadi kakak lagi ngadem soalnya di rumah panas banget”
“Alah alasan saja, awas minggir sana”
Adit mendorong Dio sampai tersungkur di lantai, Dio meraba-raba lantai mencari tongkatnya. Dan Adit pun bergegas menemui teman-temannya, tongkat Dio pun ditendangnya. Dio terus meraba-raba lantai dan tak sengaja Ia mendengar percakapan Adit dengan teman-temannya.
“Heii bro, udah lama? Duduk lah!”
“Baru sampe kok, oiya tadi itu Kakak lu Dit?”
“Ohh itu, bukan dia anak sodara Mamah gua”
“Oh kirain, ha ha ha”
Mendengar pernyataan Adit tadi Dio sangat kaget sekali tubuhnya tiba-tiba lemas nafasnya sesak, Tapi dia sudah berjanji akan lebih kuat lebih tegar, kemudain ia mencoba berdiri dengan dibantu dinding rumah, Ia berjalan selangkah demi selangkah menuju kamarnya.

Semakin hari kondisi Dio semakin melemah, namun tak ada satu orang pun yang tahu akan kondisinya itu. Ia berusaha menyembunyikan semua yang menyiksa dirinya dengan senyuman dan kesabaran, Ia tidak mau terus-menerus menyusahkan orangtua dan Adik yang sangat Ia cintai karena Ia yakin semuanya akan baik-baik saja.
Setiap malam Dio selalu berdo’a kepada Tuhan untuk selalu melindungi keluarganya terlebih lagi adiknya. Pagi hari setelah sarapan Dio mendengar kalo Adiknya akan mengikuti perlombaan musik di sekolahnya dan Dio sangat senang mendengarnya, Dia berharap adiknya mendapatkan apa yang dia mau termasuk menjadi juara satu dalam perlombaan itu, Dio yakin adiknya pasti akan mendapatkan juara satu bukan tanpa alasan memang karena bagi Dio, Adit adalah seorang musisi kecil yang luar biasa melalui tangan-tangan ajaibnya Adit bisa menciptakan nada yang sangat indah, ditambah lagi dengan suara emasnya yang menjadikan Adit calon musisi kecil yang sempurna. Setiap malam sebelum tidur Dio selalu berusaha menyempatkan untuk mendengar suara emas adiknya yang diiringi alaunan nada yang indah.
“Mah, Yah, Besok Dio mau ikut lomba musik di sekolah. Mamah sama Ayah dateng ya”
Ayah pun menjawab dengan sangat antusias, “oiya? Jam berapa Dit? Mamah dan Ayah pasti dateng kok, iya kan Mah?”
Mamah tersenyum dan menjawab.
“Iya dong, pasti kami datang”
Dio berkata dengan nada yang sangat antusias pula, “Kakak juga ikut ya Dek?”
“Jangan ikut ah, lagian mau ngapain si? Ngeliat juga enggak yang ada entar malah malu-maluin lagi”
Dio yang tadinya sangat senang langsung berubah jadi sedih, Ia menundukan wajahnya dan langsung memakan sesuap nasi.
“Adit.. kamu gak boleh gitu Nak, walau bagaimana pun juga Dio kan Kakak kamu. Dio berhak ikut Nak” Ibu berkata dengan nada yang agak kesal.
Kemudian Dio menjawab sambil berusaha tersenyum, “Udah Mah udah gak papa kok tadi Dio cuma bercanda kok”
“Bagus deh kalo cuma bercanda” Ucap Adit.
Sarapan pun dilanjutkan dengan sesekali dibarengi canda tawa, namun Dio tidak berbicara lagi Ia hanya tersenyum dan sesekali tertawa kecil, Dio ingat pada janjinya kalau dia harus tegar.

Keesokan harinya Dio yang sedang melamun dikagetkan dengan suara teriakan Adit dari luar rumah, “Aku menang” Dio pun langsung bergegas untuk menemui Adit dan mengucapkan selamat.
“Selamat ya Dek, akhirnya kamu menang” Ucap Dio sambil menjulurkan tangan.
Namun Adit tak menghiraukan ucapan kakaknya itu dia langsung pergi ke dalam rumah untuk menyimpan pialanya. Dio tetap tersenyum dan langsung kembali lagi ke kamarnya, dalam hatinya Dio berkata “Andai saja mataku ini bisa melihat, pasti aku akan sangat senang sekali melihat apa yang telah diraih Adikku”.

Siang itu matahari amat sangat terik dan membuat Dio tak bisa lagi menahan dahaga nya, rasa haus yang Ia rasakan memaksa Ia untuk mengambil segelas air, Ia bangkit dari tempat tidur berjalan dengan meraba-raba apa yang ada di sekitarnya untuk menuju dapur, namun sebelum Ia sampai di dapur tiba-tiba *prakkk* sesuatu tak sengaja Ia jatuhkan, Ia takut dan sangat ketakutan.
Adit yang sedang di kamarnya dikagetkan dengan suara tersebut, segera dia langsung berjalan muju suara tersebut, dan tak lama kemudian dia menemukan seseorang di lantai sedang berusaha meraba-raba barang yang sangat Ia banggakan hancur berntakan. Seketika Adit pun marah besar, Dia mencaci maki Kakaknya sambil berjalan mendekatinya.
“Ya ampun piala gua, dasar buta! Kalo gak bisa ngeliat jangan so so’an bolak-balik, lo liat kan sekarang piala gua jadi ancur begini, lo ngiri ama gua hah?”
Dio pun menjawab dengan nada yang sangat menyesal, “Ma.. ma..af Dek, Kakak gak sengaja tadi mau ngambil air”
Adit yang sudah terbawa emosi tinggi langsung membangunkan Kakaknya dan kemudian mendorongnya. “Alasan saja lo”
*Bukkkk* Suara Dio terjatuh terdengar sangat jelas dan seketika Dio pun tak sadarkan diri.

Ayah dan Ibu yang sedang asyik-asyiknya ngobrol dikagetkan dengan kegaduhan di dapur, lantas mereka langsung bergegas kedapur, dan kemudian Ibu histeris melihat Dio yang terkapar di lantai dengan darah yang keluar dari kepala dan hidungnya.
“Ya Allah Adit.. Apa yang udah kamu lakukan? Kenapa kamu setega ini?”
Adit menjawab dengan sangat ketakutan.
“ma.. maa. mmaaf Mah tadi Adit lagi emosi dan gak sengaja Adit dorong”
Ayah langsung mendekati Dio untuk menggendong Dio ke mobil, dan berkata. “Udah jangan berdebat, lebih baik kita bawa Dio dulu ke rumah sakit, Adit bantu Ayah angkat Kak Dio cepat”

1 jam lebih Ibu, Ayah, dan Adit menunggu Dokter keluar dari ruang UGD. Kemudian seseorang memakai baju putih keluar dari ruang UGD dengan wajah tertunduk, belum juga Ayah betanya dokter berkata terlabih dahulu “Maaf kami sudah berusaha sebisa kami tapi Tuhan berkehendak lain”, mendengar ucapan dokter tadi Ibu menangis histeris dan hampir tak sadarkan diri, lalu Ayah memapah Ibu menuju tempat dimana Dio menghembuskan nafas terakhirnya.
Sementara Adit langsung terkulai lemas sambil memukul-mukul tembok, air mata penyesalan semakin deras membasahi pipinya, “Maafin gua kak. Maafin gua” dia berkata sambil berjalan masuk mengikuti orangtuanya, Ibu yang melihat Adit langsung memarahinya dan tamparan pun bersarang di pipi kiri Adit,
“Kamu ini… Adik yang tidak tau malu, tidak tau diri. Seharusnya kamu tidak melakukan perbuatan sekejam ini kepada seseorang yang sangat menyangimu sampai-sampai dia rela mengorbankan matanya untukmu. Untuk malaikat kecilnya, supaya malaikat kecilnya bisa melihat indahnya dunia, tapi apa balasanmu?”
Ibu langsung terkulai lemas dan Ayah dengan sigap memegang Ibu yang hampir terjatuh,
“Sabar Ibu, sabar kita bisa bicarakan ini baik-baik”
Mendengar perkataan Ibunya tadi, Adit seketika terdiam hatinya serasa tersambar petir, perasaan bersalah, menyesal bercampur aduk dalam hatinya.

Setelah 10 hari kematian Kakaknya, Adit lebih sering melamun dan mengurung diri di kamar, sementara Ibu masih bersedih karena tidak percaya anak yang sangat Ia cintai telah pergi, dan Ayah selalu menasehati Ibu untuk bersabar dan berdo’a.
Dari dapur Adit melihat Ibunya sedang duduk melamun dengan wajah yang begitu sangat bersedih, kemudian Adit memberanikan diri untuk mendekti Ibunya, seraya memegang tangan Ibunya Adit berkata.
“Maaf ya Mah, Adit sangat menyesal Adit gak mau kalo Mamah marah sama Adit”
Lalu Ibu berkata.
“7 tahun yang lalu mobil yang kita tumpangi mengalami kecelakaan, Ibu dan Ayah hanya mengalami cedera ringan, sementara Dio terluka parah dibagian punggung tertusuk kaca mobil karena ingin menyelamatkanmu, dan kamu pingsan, merahnya darah menutupi semua wajahmu dengan mata yang tertusuk pecahan kaca”
Ibu menarik nafas panjang dan mengeluarkannya, kemudian melanjutkan ceritanya. Sementara Adit tak kuasa menahan air matanya.
“Ibu dan Ayah ketakutan melihat kondisi kalian berdua, tapi setelah beberapa hari kami bisa bernafas lega karena mendengar Dio baik-baik saja, tapi kami tidak menyangka kalau kondisi kamu lebih buruk daripada Dio. Kedua matamu harus diangkat karena sudah rusak parah dan kamu divonis tidak bisa melihat lagi, Kakakmu yang mendengarnya sangat bersedih dan tak henti-hentinya menangis, dia memaksa Ibu dan Ayah untuk mendonorkan matanya untuk mu. Tentu saja kami menolak tapi Dio terus memaksa hingga kami luluh dan mengabulkannya”.
Adit yang mendengar pernyataan menangis tanpa henti, kemudain Ia berkata.
“Maafin Adit Mah, Maafin Adit”
Mamah kemudian memeluk Adit dan seraya berkata.
“Tak usah minta maaf lagi Nak, Mamah dan Ayah sudah memaafkan”
Adit bisa sedikit tersenyum dan bernafas lega mendengar ucapan Ibunya.

Malam itu Adit berniat tidur di kamar Kakaknya, Ia berjalan dari kamarnya menuju kamar Kakaknya. Kemudian dia duduk di samping tempat tidur, dan melihat sekelilingnya, terlihat di dekat meja sebuah tongkat hitam dengan selembar kertas di bawahnya. Dengan cepat Ia langsung mengambil tongkat itu dan membaca isi kertas yang sangat membuat Ia penasaran.
“Tuhan telah mengambil mataku, tapi aku tidak pernah marah,
Teman-temanku semuanya menjauhiku, tapi aku juga tidak marah
Aku tidak pernah menyesal dengan apa yang sudah terjadi
Dan aku akan menyesal kalau malaikat kecilku hidup dalam kegelapan
Sakit hati Kakak Dik, kalau kamu memarahi Kakak
Sakit hati Kakak ketika kamu tidak mengakui Kakak di depan teman-temanmu
Tapi Kakak tidak pernah marah
Kakak tidak pernah membencimu
Kakak akan selalu menyayangimu
Sampai saat ini, saat kamu membaca surat ini
Tetaplah tersenyum, Malaikat kecilku”

Surat dari Kakaknya membuat Adit tidak berdaya, Adit tak henti-hentinya memarahi dirinya sendiri, dan menyesali apa yang sudah terjadi. Adit merasa hina sekali karena dia sangat tak pantas dipanggil Malaikat, dia merasa kalau dirinya itu sangat tak berguna, bahkan dia merasa bahwa dia tak pantas dipanggil Adik.
Beberapa saat Adit terdiam dan kemudian menarik nafas, menenangkan diri. Dia bejanji akan menjadi lebih baik dan merubah sifatnya, dia ingin membuat Kakaknya bangga dan selelu tersenyum di alam sana. Seraya tersenyum Adit berkata, “Aku berjanji akan lebih baik lagi, akan berusaha membuat semuanya bangga, dan akan berusaha membuat kamu bangga, Kakakku, Kaulah Malaikatku, Malaikat tanpa mata”.

CERPEN "puting beliung"



"puting beliung" 

Dia melihat awan yang mulai kelabu, kadang dia memperhatikan jalan yang dia tapaki, tapi sesekali juga dia menengadah lagi. Dia penasaran kenapa hari ini mendung begitu lama, tapi tidak juga turun hujan, dia pulang dan menyalahkan televisi tetapi tidak ada berita apapun tentang cuaca. Dia menarik selimut sambil berdoa semoga hari ini tidak ada angin puting beliung. Dalam beberapa hari ini, khususnya bulan Desember ini, hujan dan angin tidak henti mengunjungi Jakarta. Dia memandang ragu ke jendela, gerimis mulai turun, rintiknya terlihat tipis-tipis menghujam pepohonan. Dia terlihat ragu saat melihat pohon yang bergoyang-goyang karena angin mulai datang. Dengan agak takut dia berjalan ke dekat jendela, dia buka jendela, sekarang dia berada di lantai dua rumahnya. Dia bisa melihat beberapa orang menyebrang jalan dengan terburu-buru, dia terpaku pada seorang kakek membawa payung yang menyebrang, lalu payung dia lepas dari genggaman. Terbawa angin yang amat kencang, saat itu dia bergegas menutup jendela dan turun, “Ibu aku akan keluar sebentar” katanya sambil menghampiri ibunya. Dia membuka pintu lalu terlupa dan melangkah mundur, dia mengambil payungnya, dia bergegas sambil membuka payung. Sekitar sepuluh meter dari situ, si kakek masih menyebrang dan menutupi kepalanya dengan tangan. Dia berlari dan sempat hampir tertabrak motor karena tidak menengok ke arah kiri terlebih dahulu. Si pengendara motor menekan klakson panjang sekali karena terlalu marah. Dia melambai pada pengendara motor sambil lalu, maksudnya minta maaf, tapi entah pengendara itu mengerti atau tidak. Dia memayungi kakek, kakek menengok dengan agak kaget “Terima kasih nak”
“Ya kek, sama-sama. Rumah kakek dimana?”
“Tiga blok dari sini”

Melihat kakek yang membawa tas belanja, dia jadi kesal dengan anak atau cucu-cucu kakek ini. Yang tega membiarkan seorang kakek berjalan sendirian untuk belanja, dikala cuaca terlihat sangat mengganggu. Apalagi sang kakek harus berjalan tiga blok, untuk pergi ke toko sayuran yang memang jarang di sini.
“Siapa nama kamu nak?”
“Aku Thorin kek”
“Namamu bagus”
“Terima kasih, itu diambil dari Novel kek, ayahku suka membaca novel” thorin menjelaskan

Hujan yang semakin deras membuat mereka harus berjalan pelan-pelan, angin begitu kencang tapi thorin memegang kencang gagang payung. Biarpun dia dan kakek mungkin akan basah kuyup, tetapi thorin ingin mengantar kakek dengan selamat. Dia melepas mantel yang tadi sempat dia pakai sebelum turun dari kamar. Dia memakaikannya pada kakek, “Terima kasih nak” ucap kakek. Hampir tidak terdengar saat kakek mengatakan hal itu, hujaman air hujan yang berbentur pada jalanan membuat suara yang sangat berisik. Tidak ada mobil ataupun kendaraan lain yang lewat-lewatan, mereka semua sudah berada dalam rumahnya masing-masing, mungkin. Rumah-rumah yang terlihat semua pintunya kini sudah tertutup, mungkin beberapa dari mereka sedang menghangatkan diri dalam rumah, di depan perapian, atau sedang meneguk cokelat panas. Thorin terus mengkhayalkan yang tidak-tidak.
Sudah lewat satu blok ketika angin sangat kencang menerpa mereka berdua, karena thorin yang terlalu serius dengan khayalannya tadi, payung itu lepas dari genggamannya. Dengan cepat thorin mengejar payung itu, tapi sepintas dia melihat sebuah pos ronda tidak jauh darinya, di berbalik dan mengajak kakek untuk berteduh di bawah pos ronda itu. Pos ronda itu cukup kokoh karena semua bahan yang jadi pondasi serta tiang-tiangnya berbahan semen dan batu bata. Untuk sesaat thorin mencari letak payungnya yang hilang atau lebih tepatnya pergi entah kemana. “Sial” gumamnya, tidak ada seseorang yang lewat atau pun keluar dari rumah sebentar saja, atau paling tidak melihat mereka berdua dari jendela.
“Kakek tidak kedinginan kan?”
“Santai saja, kakek tidak apa-apa”
Thorin menggesek-gesekan tangannya agar terasa hangat, tapi sepertinya tidak berhasil karena tangannya terlalu lembap. Dia memeluk tubuhnya sendiri, menggosok-gosok tangan pada lengannya.
“Kek… Kenapa kau yang harus belanja, apakah kau tidak punya cucu atau anak yang bisa belanja” kata thorin dengan agak sinis
“Kakek punya, satu anak dan satu cucu”
“Lantas, kenapa tidak mereka saja yang belanja?”
“Aku punya satu anak, perempuan dia sudah menikah dan memberikanku seorang cucu perempuan. Beberapa tahun lalu, anak dan menantuku meninggal dalam kecelakaan”
“Kenapa tidak cucumu saja yang belanja?”
“Dia sedang sakit”
“Aku sudah tahu kenapa kakek harus belanja sendiri. Aku minta maaf karena telah menganggap mereka sangat durhaka sebelumnya, dan aku turut berduka. Siapa nama cucumu kek?” thorin tersenyum berusaha mentralisir keadaan.
“Syrena”
“Namanya bagus kek”
“Ya, itu nama pemberian ku. Mungkin sekarang dia telah terbangun dari tidurnya dan mengkhawatirkanku, kalau kau tidak keberatan bisakah kita berjalan lagi sekarang?”
Thorin memperhatikan hujan dari langit yang tidak henti-henti, angin juga masih berhembus jalang tetapi tidak sekencang tadi. Entah kenapa perasaan mengharuskan thorin menengok belakang, dia menengok. Ada pohon ceri besar berdiri tepat belakang pos ronda, pohon itu mulai goyang-goyang. Thorin dengan sigap menarik tangan kakek, “ayo cepat”, mereka berdua turun dan tepat setelah itu atap pos ronda tertimpa pohon ceri hingga hancur. Thorin mencari payungnya, melihat ke sana dan ke sini, angin kembali menjadi kencang. Payung itu sekitar lima belas meter dari pos ronda tadi, tapi bersembunyi balik pohon, sehingga tadi tidak kelihatan dari pos ronda. Dengan terburu-buru thorin menapaki trotoar, saat mata dia menangkap sesuatu dia melangkah mundur dengan cepat. Tiang listrik yang kokoh tepat seberang jalan rubuh, untungnya tidak menimpa rumah siapapun karena dia runtuh menghadap trotoar. Thorin mengusap-usap dadanya, lalu dia berjalan lagi, dia melompati tiang, dia melangkah perlahan lalu dia ambil payungnya. Kabel yang tertarik karena satu tiang jatuh, membuat kabel putus seketika.
Thorin memperhatikan bagian kabel yang putus, ada sekitar sepuluh, kabel-kabel itu bersentuh dengan genangan air. Thorin melangkah dengan hati-hati, mungkin listrik mati akan membuat beberapa orang keluar, dan bisa menolong mereka, thorin harap. Dia menyambangi kakek dan memayunginya, dia memandangi jalanan yang sepertinya sudah mulai tergenang air. “Banjir” gumamnya, thorin masih memperhatikan jalan, apakah ada celah untuk mereka melangkah. Sudah jelas kalau ada kabel putus dan itu berhubungan dengan air yang ternyata menggenangi jalan.
“Aku pernah lihat ini” gumam kakek
“Apa itu kek”
“Discovery channel, saat mereka menangkap ikan dengan menyetrum airnya, dan itu sangat efektif”
“Tapi kita bukan ikan kek”
“Ya, sebaiknya kita cari jalan lain”

Mereka berjalan di trotoar, karena banjir belum menggenang sampai setinggi trotoar, mereka terus mencari jalan keluar. Cat biru, tidak ada pagar, rumah itu pintunya lalu terbuka, seorang ibu-ibu keluar, mereka melihat thorin dan kakek, lalu dia seolah bingung. Thorin melambai padanya, sebenarnya itu bukan lambaian, melainkan larangan untuk menjauh dari jalan, tapi ibu-ibu itu tahunya thorin melambai. Dia melangkah maju dengan membawa payung, dan thorin bergegas mencegahnya dia belari ke tepi trotoar. “Banjir, listrik” thorin menunjuk tiang listrik yang jatuh “anda akan kesetrum” teriaknya, dia hampir dua kali berkata seperti itu. Tapi karena suara hujan lebih keras dari itu, ibu-ibu itu tidak mendengar apa-apa. “Kakek pegang payungnya” thorin berjalan mencari sesuatu, dia seperti elang pemangsa saat ini, “dapat” dia mencengkram seekor kodok besar. Dia berlari dan melemparkan ke jalan tepat depan si ibu, seketika kodok itu tergeletak, dan mengambang. Si ibu mengerti, dia berkata terima kasih, thorin bisa membaca bibirnya, jadi dia mengangguk.
Mereka berjalan cukup jauh, dan dari kelihatannya kakek sudah sangat kedinginan.
“Berapa umurmu sekarang?”
“Aku enam belas”
“Sama seperti cucuku”
“Jadi dia masih muda juga?”
“Ya. Sebenarnya dia itu cantik dan baik, dan kakek rasa dia sudah agak sembuh”
“Oh ya”
“Ya”
“Syukurlah”

Blok G rumah kakek berada ada di jalan lurus depan mereka, hanya saja mereka harus menyebrangi jalan besar yang tergenang banjir.
“Apa semua air banjir ini masih menghantarkan listrik?”
“Kakek rasa tidak” seolah berfikir “Yang kakek ingat kalau hantaran listrik itu sendiri ada jaraknya, dan semakin jauh, listrik yang menyebar semakin kecil dayanya”
“Kalau begitu, kita menyebrang?”
“Ayo, kakek semakin takut kalau Syrena sudah bangun”
Dengan langkah hati-hati thorin mencelupkan kakinya, “seperti ada semut yang menggigiti jari-jarimu” kata thorin
“Berarti dayanya kecil” kakek ikut melangkah dan mereka berdua berjalan menembus banjir. Dengan langkah pelan thorin mengimbangi kakek, thorin terus berpegang kencang pada payungnya, tubuhnya bergetar tanpa dia rasakan terlalu serius. Giginya bergemelutuk dengan sendirinya,
“Kau kedinginan?” tanya kakek
“Ya, sedikit”
Kakek tertawa kecil, “Kau anak kuat”
“Benarkah?” thorin mengerutkan dahi, seolah tidak percaya
“Kau punya jiwa penolong”
“Benarkah?”
“Tentu saja, kau telah menolongku sampai sejauh ini”
“Terima kasih”
“Kenapa kau yang berterima kasih, seharusnya aku”
“Terima kasih atas pujiannya”
Kakek tertawa cukup keras
“Kenapa tertawa?”
“Kau sangat aneh”, lalu mereka berdua tertawa. Sekarang mereka berdua yang terlihat sangat aneh.

Mereka sampai dengan berbagai perjuangan, lalu kakek membuka pagar, “sebaiknya kau masuk” ajak kakek.
“Tidak, Terima kasih” dia berjalan mundur “aku takut ibu khawatir”
“Terima kasih” teriak kakek.
“Sama-sama kek”

Dia membuka pintu, “Dari mana saja kau? Kenapa basah kuyup begitu?” tanya sang ibu
“Aku habis berenang”
Ibunya lalu berfikir dan bingung sendiri sambil memasak. Saat itu senja, setelah dia mandi, hujan dan angin telah berhenti. Dia melangkah keluar rumah dan melihat matahari yang hampir tenggelam, “Indahnya” gumam dia. Bukan untuk matahari terbenam, melainkan dari seberang jalan dua orang bergandengan datang. Kakek dan cucunya yang memang cantik, kakek ingin memperkenalkan Syrena pada thorin. Ibu keluar tepat saat thorin sedang berbincang dengan mereka, ibu mengajak mereka makan bersama malam itu. Kakek menceritakan hal yang tadi pada ibu thorin, dan dia sangat berterima kasih.

cerpen "zaman zomby"



"zaman zomby"

Dia masih terengah berlari, dengan nafasnya yang seperti itu dia mungkin akan segera terjatuh dan pingsan. Dia menyempatkan melihat belakang, dan ternyata yang mengejarnya sudah entah kemana. Dia duduk dengan mata waspada, dia terus mengawasi pohon-pohon beringin pada sisi-sisi jalan. Dia bernafas sepuasnya, menggesek-gesekkan telapak tangannya. Dia heran padahal pakai mantel yang cukup tebal, tapi dia tetap saja kedinginan. Hujan beberapa hari ini seolah tidak pernah berhenti, dia merasakan telapak tangannya yang mengkerut.
Terdengar bunyi langkah kaki lagi, dan kali ini lebih banyak “Sial” gumamnya. Dia memakai sarung tangannya lagi dan bergegas lari, karena hujan tidak lagi turun, dia membuang mantelnya sambil berharap dia bisa menemukannya lagi. Beberapa rumah yang dia perhatikan tidak menunjukan tanda-tanda kehidupan, dia semakin kecewa. Nafasnya terengah lagi, wajar saja, dia baru istirahat sebentar. Dia menuju station wagon yang terparkir depan sebuah rumah, dia berharap semoga ada kuncinya, saat dia sampai sesuatu menariknya ke semak-semak. Dia mencoba meronta tetapi cengkramannya sangat kuat, “Ssst, sebaiknya kau diam” kata seseorang perempuan, dia lalu menutup mulutnya sendiri.
“Kau siapa? Aku Karen” kata perempuan itu
“Aku Percy, salam kenal”
“Dari mana kau dikejar?”
“Hutan. Aku berharap bisa berlindung disana, tapi ternyata mereka menemukanku”
“Mereka zombie, kau ingat kan? Mereka bisa melacak keberadaan kita dengan merasakan panas tubuh”
“Kenapa kita bersembunyi di sini”
“Semak ini dingin, karena hujan mengguyurnya terus-terusan, kita akan aman, percaya padaku”

Lalu langkah kaki semakin dekat, mereka berlari melintasi semak yang ternyata ada dua manusia di dalamnya. Tanpa tahu mereka berlari semakin jauh. Ini adalah zaman dimana zombie sudah meluas. Kalau hidup di zaman ini pasti kalian tahu kenapa tidak boleh keluar tanpa membawa senjata, senjata apapun itu, yang penting dapat membunuh atau membuat kepala seseorang hancur.
Karen berjalan menuju station wagon dan membuka pintunya, dia memberikan percy pistol magnum “Ini, jaga aku. Aku akan berusaha menyalakan mobil”
Mata percy dengan waspada mengamati sekitar, “Karen, apa kau mengerti mobil?” tanya percy, mobil lalu menggeram.
“Apa itu menjawab pertanyaanmu? Ayo masuklah” Karen memegang setir dengan luwes, menurut percy dia pasti seorang montir atau pembalap. Dia merasa bersyukur sekali, karena percy tidak bisa menyetir apalagi memperbaiki mobil. Tapi dengan adanya Karen, percy percaya akan sampai ‘Benteng Jakarta’.

“Hemm jadi, kau berasal dari…?
“Aku bekasi, kau?”
“Aku dari bandung, tadinya kami berlima, namun teman-temanku mati di perjalanan menuju tempat ini” Karen menutup kaca mobil “kaca mu juga tutup”
“Ya” percy menutup kaca
“Jadi, kau orang sini, lantas kenapa kau belum sampai ‘Benteng Jakarta’. Kau tertinggal dengan keluargamu?” Karen mengerutkan dahi
“Tidak” percy menatap tajam jalanan yang tersinari lampu mobil “Semuanya telah meninggal”
“Aku turut berduka”
“Aku juga berduka atas teman-temanmu”
“Yah, memang hidup kita sangat diuji sekarang. Tapi menurutku, Lebih baik mati daripada menjadi Zombie, iya kan?”
“Ya” lalu mereka berdua tertawa
“Kau tahu banyak tentang Benteng Jakarta?”
“Tidak terlalu, aku hanya tahu kalau tempat itu akan memberi kita perlindungan, tempat tinggal, makanan. Hanya itu”
“Oke, aku juga hanya sebatas itu saja, aku tidak tahu banyak”
“Kita akan mencari tempat berlindung kan?”
“Memang kenapa?”
“Apa kau mau menyetir semalaman?”
“Tentu saja tidak” dia diam sejenak “Ya ampun Percy, kau tidak bisa menyetir?”
“Aku masih sekolah, SMA” tegas percy
“Memang aku sudah terlihat tua, aku ini baru dua puluh tahun, hanya beda beberapa tahun darimu, oke”
“Aku tidak bermaksud menyindir”
“Lalu?” dia menengok ke arah percy
“Karen awas” teriak percy sambil menunjuk jalanan, mobil melindas sesuatu, dan Karen mendadak langsung menekan rem. Mereka terbentur bantal pengaman, setelah berusaha menyadarkan diri, percy segera keluar mobil.

Seseorang telah berbaring di bawah mobil, dan hanya terlihat kakinya saja, percy menarik kakinya. Terasa aneh saat percy memegang kakinya, sangat empuk seperti busa, dengan terheran-heran percy menyadari ternyata itu hanya boneka. “Angkat tangan” ujung pistol tepat berada belakang punggung percy, “Jatuhkan pistolmu”, percy menjatuhkan pistolnya. Dari belakang mobil, Karen muncul dengan seseorang juga menodongnya.
“Kami ingin mobilmu, mana kuncinya?” kata pria belakang percy
“Kami tidak pakai kunci, kami, kami..” percy sangat ketakutan saat itu
“Kami mencuri mobil ini, aku bisa mengakali starternya, jadi kami bisa berkendara” celetuk Karen
“OKE, sekarang mobil ini milik kami” dia mengambil pistol magnum percy dan kemudian berjalan masuk mobil, orang yang menodong Karen ikut masuk pelahan, sambil terus mengawasi percy dan Karen. Mereka melenggang pergi. Percy terbaring lemas, dia lebih takut mati dibanding zombie, “Ternyata” gumamnya. Karen masih teduduk kecewa, sekarang harapan untuk selamat kembali menjadi hampir nol. Percy bangkit dan melihat lingkungan sekitar, dia melihat ada sebuah rumah tidak jauh dari tempat dia berdiri.


Dia membuat benteng sementara, mengganjal seluruh pintu dengan benda-benda berat, beruntungnya, pemilik rumah tingkat ini punya persediaan senjata api. Ada Shotgun dan beberapa Pistol, dia membawa semua ke lantai atas.
“Jadi teman-temanmu itu meninggal kenapa? Kalau kau tidak ingin menjawab juga tak apa”
“Beragam” Karen menghela nafas, “Satu yang ingin aku ceritakan, Edri, dia mengorbankan diri demi aku, saat kami terkepung zombie, dia menyuruhku lari, dan kami saat itu tinggal berdua. Edri berkeras menyuruhku berlari, kalau tidak lari dia akan tembak aku”
“Lalu, apa yang kau lakukan?”
“Aku meninggalkannya” Karen terisak
“Edri bersikap benar, dan dia merasa harus melindungimu. Apa dia kekasihmu?”
“Aku tidak punya kekasih” dia diam sejenak “Kalau kau?”
“Hah, aku, tidak mungkin” percy tertunduk “Aku terlalu pengecut, aku bukan pemberani seperti kebanyakan lelaki”
Karen menatap jendela, “Kau berani, cukup berani untuk bisa terus hidup”
“Terima kasih. Sebaiknya kau tidur”
Karen menarik selimutnya dan tertidur beberaa menit kemudian. Percy akan berjaga semalaman, dia melongok lewat jendela, entah kenapa hari ini zombie tidak begitu banyak berkeliaran.


Karen sedang tertidur pulas, saat percy melihat dari jendela kamar atas, sekerumun zombie datang, mereka mulai berusaha masuk. Percy membangunkan Karen dan memberitahu kalau mereka harus segera lari. Dalam sebuah tas besar, percy menaruh beberapa makanan, dan tidak lupa senjata. Mereka menuruni tangga, dan berencana lewat belakang, pintu masuk belum berhasil dijebol. Percy membuka pintu belakang, beberapa zombie langsung berlarian memutar, dengan cepat mereka keluar. Percy menyuruh agar Karen berjalan lebih dulu, sementara percy menembak beberapa zombie yang mengejar.
Percy berhenti sejenak, dia menembakki zombie yang mengejar, suara dentum shotgun berkali-kali berbunyi. Tiba-tiba Karen berteriak, saat percy menengok, Karen sudah terkepung beberapa zombie, percy menembakkan shotgunnya berkali-kali.
“Kau tidak apa-apa” teriak percy
“Iya, terima kasih”
“Sama-sama” gumam percy, dia berbalik dan kaget ketika beberapa zombie sudah dekat sekali dengan dia. Dia menancapkan pisau di kepalanya, karena zombie itu berhasil membuat percy jatuh terlentang. Percy bangkit dan berlari, dia melihat Karen yang ternyata sudah menemukan kendaraan. “Larilah” teriak percy, beberapa zombie bertambah banyak datang dari perumahan dekat situ, mereka memanjat pagar. Percy menengok kanan dan kiri, kalau Karen datang ke sini sudah dapat pasti mereka mungkin akan terjebak. “Larilah, Ada pertigaan dekat sini, yang menuju fly over. Dari sana kau akan bisa melarikan diri” teriak percy lagi, sambil terus menembakki dengan shotgunnya, untung peluru yang ada dalam tas masih cukup banyak. Mobil melaju ke arah percy, “dasar wanita” gumam percy.
“Butuh tumpangan?” dia lalu tertawa. Dengan kesal percy masuk, dia terus menembaki zombie yang mengejar, mereka datang dari arah mana saja. Mobil lalu maju menabrak zombie, mundur sambil menabrak zombie, maju lagi, mundur, maju lagi dan mobil melaju dengan kencang.
“Ini tidak seperti ‘Halilintar’, aku rasa aku mual” percy lalu menunjukan arah kemana Karen harus melaju.
“Jujur saja, aku tidak mendengar teriakan-teriakanmu tadi, haha. Jadi aku menyuruhmu masuk” dia tersenyum sumringah

Karen melajukan mobil dengan cepat. Hampir sampai perbatasan kota bekasi dan Jakarta, mereka menemukan jalan fly over yang ternyata sudah hancur. Saat Karen memutar balik kendaraan, pada depannya, para zombie dengan wajah mereka yang rusak-rusak, telah berkumpul, banyak sekali. Percy hanya tertegun, “Kita turun, ayo” dia memegang tangan Karen, “Percaya padaku”. Mereka berdua keluar dan berlari ke arah fly over yang hancur tadi. Lalu tiba-tiba dari bawah fly over muncul sesuatu yang membuat Karen kaget dan terkesima setelahnya. Helikopter “masuklah” ucap percy
“Percy, kenapa kau tahu ada Helikopter tentara di sini”
“Maaf karen kalau aku tidak memberi tahumu sebelumnya. Tadi malam aku menemukan sebuah ruangan di rumah itu, ruangan itu mencurigakan sehingga aku kira ruang kerja. Pemilik rumah itu tentara, Karen, dan dia punya ruang radio. Aku menghubungi Angkatan Udara ini lewat radio”
“Anak pintar” Karen tersenyum
“Masuklah, cepat!”
Mereka berdua berhasil kabur dan menemukan ‘Benteng Jakarta’ yang pada kenyataannya memang tempat perlindungan untuk manusia yang selamat.

Mereka berdua selamat, entah yang lain. Banyak dari mereka yang terkurung dalam rumahnya karena terlalu takut mati atau menjadi zombie. Bukankah pilihannya ada dua ‘Mati atau Menjadi Zombie’, jika kita selamat dari suatu bencana, suatu saat kita juga pasti mati.


"nasehat ibu tikus"
Kerajaan Tikus yang terletak di langit-langit rumah yang gelap dan pengap dihuni oleh banyak keluarga tikus. Salah satunya seekor ibu tikus yang sedang mengandung.

Ibu Tikus sudah mempersiapkan nama untuk para anaknya yang akan lahir nanti. Lalu setelah beberapa hari, Lahirlah beberapa ekor tikus yang lahir di keluarga apa adanya. Lahir dari rahim seorang ibu yang mengandung selama 30 hari. Bayi-bayi tikus itu diberi nama Paijo, Sukmo dan Trisno yang sudah disiapkan oleh ibu tikus.
Bayi tikus itu lahir dan tumbuh menjadi tikus kecil yang lincah. Suatu hari Paijo hendak bermain dengan teman-temannya.
“Hey Paijo ayo main!”, seru anak para tikus. Para anak tikus sudah berecana pada hari-hari sebelumnya untuk bermain lebih jauh dibandingkan hari kemarin.
“iya tunggu sebentar, kita akan bermain kemana hari ini?”, Tanya Paijo.
“hhmmm…”. sambil berpikir ibu Paijo memanggil dan menyampaikan sesuatu kepada Paijo.
“jangan bermain terlalu jauh Paijo, ingat di luar berbahaya apalagi sampai kau turun ke bawah itu sangat berbahaya karena di bawah sana banyak anak manusia yang akan menangkapmu. Anak manusia itu sudah memasang perangkap disana dan itu akan membahayakan nyawamu”.
Paijo menjawab, “tapi bu kita ini kan anak tikus. Anak tikus yang hebat yang mampu berlari dengan cepat”,
“Jebakan anak manusia lebih berbahaya Nak”, ibu menasehati lagi.
“lalu apa yang harus aku lakuakan jika aku turun ke bawah, Bu?”
“jika kamu terpaksa turun ke bawah, kamu harus berhati-hati dan wasapada akan jebakan yang telah dipasang oleh para anak manusia”, jawab ibu tikus
“iya, bu aku tidak akan bermain terlalu jauh”, jawab Paijo
Lalu Paijo bersama teman dan saudara-saudaranya pergi bermain. Mereka sangat senang dan riang hingga lupa waktu dan segalanya.

Ketika waktu sudah larut malam dan suasana semakin gelap gulita. Setelah lelah bermain meraka terkapar lemas.
“aku lelah sekali”, kata salah satu teman Paijo
“iya aku juga lapar”, mereka saling mengeluh bersahutan.
Salah seekor anak tikus berkata,” bagaimana jika kita cari makanan saja?”
“Seettuujuuu…!”, jawab anak-anak tikus yang lain.

Waktu semakin malam dan lampu rumah anak manusia sudah mulai dimatikan. Menandakan bahwa anak manusia mulai tidur.
Mereka pun akhirnya berjalan turun ke bawah menuju rumah anak manusia. Menyusuri rongga-rongga ruangan dan perabotan rumah anak manusia. Hingga suatu saat salah satu dari mereka melihat sebuah roti. Roti yang terletak di atas meja tanpa ada penutup tersebut. Salah seekor tikus yang pertama kali melihat roti tersebut adalah Sukmo saudara Paijo.
“hey! kalian, lihat disini ada makanan yang sangat lezat!”, teriak Sukmo memanggil teman dan saudaranya.
Gerombolan anak tikus yang sedang kelaparan mencari makanan, lalu berlari menuju sumber suara Sukmo.
“ayo ambil saja roti itu!”, seru Trisno.
“iya, kenapa tidak kau ambil saja makanan lezat itu?”, sahut anak tikus yang lain.
“aku tidak berani untuk mengambilnya”, jawab Sukmo
“kenapa kau tidak berani? Anak manusia sudah tertidur, mereka tidak mungkin tahu.”, sahut Paijo anak tikus yang memiliki tubuh yang paling kecil.
“aku takut, takut jika manusia akan mencariku dan akan memakanku”, kata Sukmo
“tapi bagaimana? Kita sudah benar-benar kelaparan, jika kita tidak memakan roti ini kita tidak akan bisa pulang dan keluarga sudah pasti gelisah dan cemas mencari keberadaan kita”, kata anak tikus yang lain.
“ah itu tidak mungkin. Jika di sini tidak ada yang berani untuk mengambil roti itu aku akan mengambilnya.”, jawab Trisno yang memberanikan diri untuk mengambil roti itu.

Dengan susah payah Trisno berusaha untuk mengambil roti milik anak manusia itu. Trisno terus berusaha dan berusaha terus hingga ia mendapatkannya. Setelah beberapa menit Trisno seekor tikus kecil yang memiliki badan besar tersebut berhasil mendapatkan roti tersebut.
“Hoorree… kita pesta malam ini…!!”, seru segerombolan anak tikus yang sedang kelaparan melihat Trisno mendapatkan sebuah roti. Roti tersebut tidak terlalu banyak tetapi bentuknyalah yang lumayan besar sehingga mampu untuk mengisi perut-perut anak tikus yang kelaparan itu. Bentuknya yang besar itu membuat para anak tikus berebut untuk saling mendapatkan potongan roti. Termasuk ketiga bersaudara Paijo, Sukmo dan Trisno. Mereka bertiga saling berebut, namun akhirnya Sukmo dan Trisnolah yang mendapatkan bagian lebih banyak dibandingkan Paijo. Mungkin karena Paijo yang memiliki tubuh yang paling kecil.

Setelah mereka makan malam bersama dan roti itu sudah habis tak tersisa, mereka merasa kenyang dan mereka pulang dengan selamat dan tidak ada halangan apa pun. Sesampainya mereka sampai di wilayah kerajaan, mereka bingung suasana sangat ramai dan ternyata itu adalah orangtua mereka yang mencari keberadaan mereka.
Keesokan harinya para anak tikus itu merencanakan untuk bermain kembali. termasuk Sukmo dan Trisno. Tetapi berbeda dengan Paijo yang hari ini tidak terlihat.
Ternyata Paijo sedang menyendiri ia malas bermain hari ini karena masih ingat perlakuan saudaranya yang memperlakukan Paijo tidak adil kemarin. Paijo sedih karena ia masih ingin merasakan roti itu dengan kenyang. Paijo benar-benar benci kepada kedua saudaranya.

Paijo lalu pergi ke tempat yang kemarin ia datangi bersama teman-temanya tetapi kali ini ia tidak bermain bersama melainkan pergi sendiri. Ia ingin melakukan apa yang salah satu saudaranaya lakukan yaitu Trisno yang berhasil mengambil roti kesukaannya.
“sebenarnya aku kemarin berani saja hanya untuk mengambil roti tersebut, tetapi karena aku ingat pesan ibu aku takut untuk mengambilnya, katanya anak manusia itu sudah memasang banyak jebakan untuk para anak tikus, tetapi ternyata Trisno tidak kesakitan sama sekali ketika mengambil makanan punya anak manusia itu”, anak tikus yang berbadan paling kecil ini bergumam sendiri sambil menyusuri jalan yang kemarin ia lewati bersama teman-teman.
Paijo masih ingin merasakan roti yang kemarin. Ia pergi menuju tempat diletakkannya roti kesukaannya itu. Tapi di tengah perjalanan ia melihat sebuah roti, yang ia makan kemarin walaupun tak sebesar yang itu, roti ini adalah kesukaanya.
“rejeki memang rejeki, baru di tengah perjalanan saja sudah dapat santapan lezat”, kata Paijo.
Tapi kali ini ada yang berbeda dari kemarin yaitu tempat meletakkan roti tersebut. Tetapi Paijo tidak memikrkan hal tersebut yang ia pikirkan hanyalah roti yang enak. Dengan rasa berani ia nekat mengambil roti tersebut.
“PLAAKK..”
“aaaahhhh… tolong… tolong…”
“kakiku sakit.. tolong..,” setelah terdengar suara yang keras tiba-tiba Paijo langsung merintih kesakitan dan meminta tolong. Paijo lupa akan pesan ibunya bahwa jangan bermain terlau jauh dan sendirian apalagi sampai turun ke bawah. Paijo lupa akan hal itu. Paijo mulai tersadar ketika ia mulai merasa sangat kesakitan.

Tidak ada seekor tikus pun yang datang menolong Paijo. Sampai beberapa menit dan kakinya sudah mengeluarkan darah. Barulah datang dua ekor tikus yaitu Trisno dan Sukmo. Mereka lalu menolong Paijo yang hampir tak berdaya hingga jebakan itu lepas.
Akhirnya mereka bertiga pulang dan menceritakan semuanya kepada ibu tikus dan mulai saat itu mereka bertiga terutama Paijo tidak akan mengulanginya lagi karena dia sudah merasakan betapa sakitnya jebakan yang sudah dipasang itu walau kadang memang menggiurkan dan akan selalu menuruti nasehat orangtua walau kadang itu menyakitkan.