Minggu, 05 April 2015

CERPEN "Cerita Mentari"



"Cerita Mentari"

Hai sahabat, aku kembali.
Tahukah kau apa yang akan aku ceritakan kali ini?

Hari ini aku memperhatikan bunga matahari. Bunganya cantik ya. Dengan warna yang menarik dan seakan hendak menantang bunga yang lain untuk adu kecantikan. Ah, bunga matahari. Aku jadi teringat akan masa laluku, Matahari. Ia sama seperti yang aku ceritakan tentang bunga matahari.
Matahari adalah sahabat kecilku. Dia cantik dengan rambut lurus hitamnya. Dia juga sering membanding-bandingkan semuanya antara aku dan dirinya. Dia selalu lebih dariku, aku selalu menjadi yang kedua.
Sebelumnya, namaku Mentari. Orangtuaku berharap aku bisa seterang Matahari yang menyinari dunia. Aku suka matahari, bunga matahari, dan semua hal yang berhubungan dengan matahari.
Aku dan Matahari bersahabat dekat sejak kejadian di taman bunga tak jauh dari rumahku. Kau tahu, dia terpisah dengan ibunya. Aku melihatnya menangis dan langsung menghampirinya.
“Kenapa kamu menangis?” tanyaku padanya.
“Ibuuu…” Teriaknya terisak sambil menenggelamkan kepalanya dalam.
Aku berusaha menghiburnya dengan memberikan bunga matahari yang telah kuambil sebelumnya.
“Hei lihat, bunga matahari tersenyum padamu. Jadi, kau juga harus membalas senyumannya,” ucapku menghiburnya.
Dia melihatku heran.
“Bagaimana ia bisa tersenyum sedangkan ia tak berwajah?” Tanya dia lagi yang saat itu berkuncir kuda dengan menengadahkan kepala melihatku yang berdiri di hadapannya.
Ia cantik. Itu kata pertama dalam pikiranku saat melihatnya. Sayang, air matanya mengganggu kecantikannya itu.
“Lihat, bunga matahari ini mekar lebarnya. Itu berarti dia tersenyum untuk melihat kita, ibuku yang mengatakannya kepadaku,” jawabku.
Gadis kecil itu mengambil bunga matahari yang berada di tanganku.
“Terima kasih,” ucapnya dengan mata berbinar.
“Namamu siapa?” Tanyaku.
“Aku matahari,” jawabnya.
“Wah, namamu sama dengan bunga ini. Jadi, kamu harus selalu tersenyum ya. Aku mentari, arti namaku dan namamu sama,” ujarku lagi.

Aku lalu mengajaknya berkeliling melihat taman bunga sembari mencari ibunya Matahari. Aku menunjukkan berbagai bunga yang ada disana. Dan tak lupa kami bermain ayunan di tengah taman bunga itu. Yah, kami dekat sejak saat itu.
Sejenak aku terdiam, dan kembali ke masa sekarang. Tahukah kau dia sekarang dimana? Aku sudah lama tidak melihatnya. Bagaimana dia sekarang? Apakah dia semakin cantik bagai matahari? Apakah dia masih cengeng? Apakah dia masih mengingatku sebagai sahabatnya?
Aku teringat saat dia berpamitan kepadaku. Kau mengikuti orangtuamu keluar kota karena harus menjalankan tugas sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia. Alangkah sedihnya hatiku dan air mataku tak berhenti mengalir. Matahari dan Mentari. Mentari tak akan berarti tanpa Matahari, begitu pula sebaliknya.
Aku kembali menuliskan semua kenanganku padamu, aku harap kau mendengarkanku.
“Ups, typo,” keluhku sambil menghapus dan melihat layar. Harusnya yang aku tulis tadi Matahari, bukan Mathari.

Mathari.
Aku harus kembali mengingat tentangnya lagi, Mathari. Laki-laki yang kutemui saat aku mulai masuk Sekolah Menengah Atas di kotaku. Pada saat itu, dia menyelamatkanku dari senior yang hendak menghukumku saat Masa Orientasi Siswa (MOS). Seperti yang diketahui, MOS adalah ajang senior menunjukkan “kelasnya”.

Aku yang saat itu sedang sakit, harus mengikuti arahan darinya. Bibirku membiru mengikuti wajahku yang pucat pasi. Ia, yang kuketahui bernama Mathari dengan berani melawan kakak kelas hanya untuk menolongku. Dia mau menggantikan hukumanku. Aku sangat bersyukur.
“Terima kasih,” ucapku kepadanya.
“Aku Mentari dan aku tahu kamu Mathari,” kenalku.
“Kau tahu?” tanyanya penasaran.
“Itu, name tag-mu. Hahaha,” jawabku sambil tertawa.
“Kamu manis,” katanya tiba-tiba.

Aku tersipu malu karena dia telah memujiku. Aku seakan terbang melayang jauh dengan kedua sayap yang ada di punggungku. Sampai sekarang pun aku masih tersipu jika mengingat hal ini. Mengenang masa lalu itu indah.
Apa kabar mathari? Apakah ia masih seberani dulu? Apakah dia semakin tampan? Aku merindukannya.
Aku menuliskan kata demi kata hingga mataku mulai terasa perih. Sebagai hiburan aku membuka winamp pada benda canggih ini dan memainkan lagu dari salah satu penyanyi terkenal di Indonesia.

Dengarlah matahariku,
Suara tangisanku,
Ku bersedih karena panah cinta menusuk jantungku…

Lagu itu membuat mataku mulai berair dan kurasa akan tumpah. Aku mengingat mereka lagi, Matahari dan Mathari. Apa kabar mereka sekarang? Mereka sekarang tinggal dimana? Apa pekerjaan mereka? Apakah mereka masih sendiri sepertiku?
“Mentari, apa yang kau kerjakan? Bukankah kau harus menyelesaikan laporanmu dan memberinya pada tim redaksi?” Tanya bosku dengan muka sangar.
“Iya bos, hanya kurang sedikit lagi,” jawabku dengan tersenyum nyengir.
Aku segera me-minimize browser dan membuka laporan.
“Eits, tunggu. Itu siapa? Seperti pernah lihat,” batinku.
Dua orang menghampiriku dengan senyum yang mencurigakan,
“Matahari?” Tanya mereka berdua.
Aku terkejut.

Tiba-tiba aku terbangun, aku melihat mereka menghampiriku. Itu mimpi? Padahal sedikt lagi aku bisa melihat wajah mereka. Ternyata aku tertidur ketika mengenang cerita masa lalu untuk dituliskan di blog dengan komputerku. Ah, aku baru ingat bahwa ceritaku belum aku simpan. Dataku hilang.
Aduh…

0 komentar:

Posting Komentar