"Tali Sepatu"
Pemuda itu melepas tali sepatunya. Tak lama setelah ia berhasil, ia memasang
kembali tali sepatu itu, kemudian ia lepaskan lagi, dan ia pasang lagi. Aku
hanya tertawa kecil melihat dia. Kurang kerjaan, batinku. Seolah bisa membaca
makna tawaku dia berkata; “Ini untuk mengisi kekosongan, Yash.. daripada
bengong? Kesambet aja, heheheee”
“Siapa yang nanya?” sewotku
Pemuda itu hanya terkekeh sesaat. Cuek saja. Dia masih
melanjutkan aktivitas tidak pentingnya. Melepas tali sepatu dan memasangnya
kembali. Berkali-kali.
Remaja tampan itu temanku, namanya Dien. Harus kusertakan
huruf e, supaya aku tidak mendapat protes darinya. Dia bilang aku menyalahi
akte kelahirannya jika meniadakan huruf e diantara i dan n. Sebegitu detil ya,
memang Dien itu suka rempong. Hal-hal sekecil itu seringkali menuai protes.
Jangankan kalian, aku pun heran.
Kami berdua sedang menunggu giliran apresiasi, sebuah
lomba puisi. Entah bagaimana pertimbangan dewan guru, mereka mengutus aku dan
Dien untuk mewakili sekolah. Dien memang punya bakat membaca puisi, ekspresinya
dapet banget. Tapi aku? Olalaa.. aku sendiri masih belum selesai terbingung-bingung.
Kenapa aku ya?
Menjadi urutan terakhir dari 50 peserta memang sesuatu
banget. Kami berdua sudah latihan sampai hafal. Sudah cerita, ngobrol, bercanda
kesana-kemari sampai –kalau dalam film kartun –sudah berbusa-busa. Sudah
jalan-jalan keliling gedung dan sekitarnya sampai jumlah thawaf haji. Sudah
macam-macam.. tapi masih ada 35 peserta lainnya yang sama-sama tunggu giliran.
Jadilah Dien membuat kesibukan baru –yang bagiku, sumpah! gak penting banget.
Tapi rupa-rupanya, aku sempat meniru perbuatannya itu.
Melepas dan memasang tali sepatu berkali-kali, di kemudian hari. Saat aku
menunggu antrian panjang, atau bosan, suntuk, kesepian dan merasa tidak ada
kerjaan –walau sebenarnya banyak. Ah, satu lagi, saat aku merindukan Dien.
Kenapa aku merindukan Dien? Hmm.. cinta pertama kurasa. Tapi pemuda itu
melanjutkan studinya ke luar kota, kemudian ke luar negeri. Lama aku tak
bertemu dengannya. Perasaanku pun, aku simpan dalam-dalam di hati. Terpendam
bersama debu-debu musim kemarau.
Solo, Musim Hujan 2008
Tanah selalu basah, jalanan sering becek dan cucian
enggak kering-kering. Begitulah ciri khas musim hujan. Dimana-mana, kapan saja,
selalu sama. Banyak temanku yang merutuki hujan. Marah dan kadang sampai
mengumpat bila hujan tiba-tiba turun deras di tengah aktivitas kami. Tapi
apakah hujan bersalah? Tentu tidak. Hujan itu rahmat, selalu berkah dan nikmat.
Diantara belasan mahasiswi yang berlarian menerobos hujan, aku berjalan santai
saja. Menikmati. Toh hujan tidak turun sepanjang waktu, tidak juga sepanjang
tahun, dan tidak tiap hari aku berkesempatan beramah tamah dengan hujan. Tak
apalah sekali-kali.
“Yash! Nanti sakit lho.. ayo sini, ngiyup!” ajak seorang
teman. Ngiyup? Berteduh? Ah, ngga’ minat. Baru gerimis saja, buat apa berteduh
segala? Bikin tambah lama, batinku menolak. Aku mengangkat tanganku sambil lalu
sebagai tanda penolakan.
Di pinggir jalan, tiba-tiba hujan terasa berhenti. Bukan
karena langit tak lagi siramkan hujan, tapi karena seseorang berbagi payung
denganku.
“Gak baek Yash, hujan-hujanan..” Tino. Seorang senior.
Ramah ia tersenyum padaku. “Kamu enggak lagi patah hati kan?” tambahnya
menggoda. Aku tersenyum kecil. Kalau Tino yang menghentikan aksi silaturrahmi
hujanku, mana bisa aku menolak. Aku mengagumi Tino. Dia kakak senior yang baik.
Pun ia aktif dalam kegiatan kemahasiswaan.
Aku melangkah mengikuti irama kaki Tino. Ia dan payungnya
yang memayungiku juga, seolah mengendalikan kemana aku harus berjalan. Tino
menuju sebuah warung bakso. Seharusnya aku keberatan jika dia hendak mengajak
mampir. Seharusnya. Tapi apa daya aku? Kukira ada semacam sihir yang menguasai
aku. Membuatku tak menolak, membuatku mengekori Tino.
“Aku laper Yash, hujan-hujan gini enak maem yang
anget-anget, gak papa kan?” tanyanya. Seharusnya aku bilang; aku enggak suka
mampir-mampir. Buang-buang uang aja jajan dulu kaya gini. Aku mau langsung
pulang aja. Tapi yang keluar dari mulutku. “Oke. Aku suka bakso kok,” Nah
lhooo.. what’s wrong with me?
Kami duduk berhadapan. Sebuah warung bakso kecil dengan
dinding yang bercat biru laut. Dipadu padankan dengan meja-kursi yang berwarna
kuning cerah sebagian dan hijau muda sebagian yang lain. Lukisan abstrak
orange-merah menambah semarak. Warna-warni sekali. Lupa sudah aku, di luar sana
hujan mulai lebat. Langit gelap abu-abu.
“Yash, tali sepatumu copot.” Tino menunjuk tali sepatuku
yang sudah kotor terseret sedari tadi. Tali sepatu? Aku segera menunduk
membenarkannya. Melerai lepas tali sepatu kumuh itu dari lubangnya dan
memasangnya lagi. Dien suka sekali begini. Tidak hanya pada kesempatan aku
berlomba bersamanya dulu. Di hari-hari berikutnya, aku jadi sering
memperhatikan kesibukan tidak penting itu dia lakukan. Unik sekali. Kadang
dengan jahil aku rampas tali sepatunya dan kubuang ke sungai di depan gerbang
sekolah. Wajah memberengutnya, tawaku yang begitu lepas, tali sepatu basah dan
kotor. Ah, aku malah jadi bernostalgia dengan kisah lama, Dien dan tali
sepatunya. Apa kabar ya dia?
Yogyakarta, Musim Kemarau 2011
Aku berkunjung ke kota pelajar pada bulan April.
Beramai-ramai mengendarai motor sedari subuh. Kami seperti sedang konvoi saja.
Meliuk-liuk kami menerjang angin dengan kecepatan tinggi. Jalan utama
Solo-Yogya sangat sepi di pagi hari. Lalu lintas sepi, lenggang dan seolah
masih tidur, belum bangun. Jarak normal yang semestinya 2 hingga 3 jam pun
habis tuntas dalam 1 jam saja. Jiwa muda mungkin, senang berkebut-kebutan.
Pagi-pagi kami sudah sarapan di tepi lautan. Berjajar
rapi dengan nasi kucing buatan sendiri di tangan masing-masing. Ombak
Parangtritis tampak bersemangat menampar kaki-kaki kami yang tanpa alas.
Bersambut dengan sorak-sorai dan tawa di tengah lahapnya makan. Hingga agak
siang kami puaskan main air di pantai Nyi Roro Kidul. Refreshing.
“Yash, aku pengen cerita, boleh?” Tino kini duduk di
sampingku. Tak sampai satu meter. Lina yang mustinya ada di antara kami sudah
membaur dengan lima teman lainnya, bermain ombak dan air pantai.
“Monggo, Ndoroo..” kataku santai. Sudah empat tahun kami
berteman baik. Meskipun tidak pernah ada percakapan serius antara aku dan Tino,
tapi hatiku rasa-rasanya seperti mulai merajut perasaan lain untuknya. Berawal
dari kagum lalu menjadi suka, kemudian merangkak menjadi … ah, apa sih. Aku
tidak mau membahas perasaan. Bikin kikuk saja.
Tino tertawa sesaat. Tawa itu kemudian pudar perlahan.
Kedua mata elangnya menatap teman-teman kami yang berlarian senang. Seperti
anak kecil. Lirih Tino berkata; “Aku patah hati, Yash.” Ungkapan yang murung.
Patah hati? Kenapa dia tiba-tiba patah hati? Belum pula dia bercerita jatuh
cinta, kok tiba-tiba curhat sedang patah hati?. Aneh lagi, kenapa hatiku ikut
enggak karuan? Masa aku ikut patah hati?
“Kapan jatuh cinta? Udah patah hati aja..” protesku
seadanya.
Tino tertawa lagi, kali ini, getir.
Tanpa mengindahkan pertanyaanku, dia melanjutkan. “Gadis
itu, Yash.. kamu tahu?” dia membuat jeda. Seperti sedang mengatur kata-kata
diantara tumpukan kepedihan yang ingin dia sampaikan. Mana kutahu, hatiku
menjawab ketus. Kenapa aku ketus? Mungkin aku kecewa, Tino berarti tidak jatuh
cinta padaku. Sebab jika dia jatuh cinta padaku, dia kan enggak mungkin patah
hati, aku pasti mengiyakanmu Tino.. Andai kamu tahu.
“Wajahnya lembut banget Yash, kaya bidadari..” lanjutnya
masih dengan mimik yang tadi. Seperti sedang membayang. Hatiku menjawab lagi;
Oh Tino.. emang kamu udah lihat bidadari? Aku yang selembut bidadari aja enggak
pernah kamu puji tuh.
“Bicaranya halus, suaranya merdu.. “ lanjut Tino. Dia
memuji-muji dewi pujaan hatinya itu seolah aku ini tidak ada apa-apanya. Menyakitkan
sekali.
“Lalu?” tanyaku. Aku menunduk. Entah bagaimana aku mulai
malas mendengarkan. Kumainkan jemariku di atas pasir pantai, aku mengukir-ukir
garis tak jelas di bawah kakiku.
“Matanya itu, hmf. Selalu teduh pandangan…” Tino masih
memuji, menerawang, membayang. Dia tidak tahu aku –dengan mendengarkan kisah
patah hatinya –pun jadi patah hati. “Langkahnya anggun, Yash.. kaya seolah dia
itu gadis paling sopan sedunia.” Ya, ya… dia yang paling sopan sedunia. Betapa
bodohnya aku bisa berpikir kalo pemuda ini pernah jatuh hati padaku? Mana
mungkin?. Bahkan semua puji-pujian itu dia tuturkan penuh kagum. Seolah belum
pernah bertemu yang seperti itu sebelumnya. Seolah yang lain-lain hanya boneka
pelengkap dunia ini. Oh, aku semakin tidak sanggup mendengar dia terus memuji.
“Lalu –…”
“Lalu kenapa kamu patah hati?” tangkasku.
Tino menarik napas, panjang. Kemudian dia
menghembuskannya keras-keras. “Keluarga kami nggak setuju, Yash.. “ ujarnya
lirih. “Rasanya aku pengen kembali ke masa lalu aja, biar hilang semua rasa
begini, biar aku memilih tidak usah kenal dia aja..” Aku juga kepingin begitu.
Aku kira selama ini kamu menyukaiku. Aku kira dia menyimpan perasaan untukku.
Selain sikapnya yang tampak begitu mengistimewakan aku, teman-teman karibnya
pun seringkali menyemangati aku. Mereka bilang, Tino menyukai Yash. Ternyata
itu hanya asumsiku yang keliru. Bukankah aku yang lebih layak kembali ke masa
lalu dan memilih enggak kenal kamu?
Atau minimal memilih enggak GR kaya gini.
“Bahkan kadang aku berpikiran ekstrim, Yash.. aku kepingin ketabrak mobil,
hilang ingatan dan lupa pernah patah hati kaya gini,”
“Tenggelem aja Tin, lebih gampang… tuh, ombaknya lagi
tinggi!” aku menunjuk laut. Memang benar, ombak Parangtritis seperti sedang
mengamuk. Menggulung besar-besar. Membuat teman-temanku makin riang
menantangnya.
“Kebanyakan nelen aer waktu tenggelam bisa bikin orang
amnesia juga kok, katanya..” tambahku asal. Aku kesal setengah mati. Kesal pada
kenyataan, diriku sendiri dan Tino.
Tino tertawa kaku. Tampak kesal juga dengan jawabanku.
Impas, pikirku egois.
Semarang, Musim Hujan 2014
Wajah yang kukenal. Mata yang kukenal. Senyum yang
kukenal. Menyumbul diantara hadirin ruang kebesaran. Mendekat dan menyapa. Aku
sampai terbengong-bengong. Is it right?
“Hai, 8 tahun lebih enggak ketemu kok kamu nggak tambah
cantik sih? Hehehe” itu Dien yang bicara. Teman SMP-ku! Si tali sepatu enggak
penting! Dia sudah menjadi seorang pemuda gagah, rupawan dan terpelajar
sekarang. Baru pulang ke tanah air setelah menyelesaikan studi strata satu-nya
di Jepang, beasiswa.
Siapa sangka, aku dan Dien bertemu kembali setelah sekian
lama. Sebuah acara wisuda di IAIN Walisongo. Di antara ratusan tamu undangan,
tidak diundang, dan wisudawan-wisudawati, ada Dien yang bertahun-tahun
ditenggelamkan masa, dan ada aku yang bertahun-tahun juga hanya mampu mengingat
masa, membayang tali sepatu Dien.
Bukankah sepasang muda-mudi yang memendam cinta,
berpisah, lantas bertemu lagi oleh skenario takdir berarti berjodoh? Ah, ya.
Tentu saja begitu. Lihatlah sekarang aku dan Dien yang sudah bertahun-tahun
terpisah, hilang kabar, sekarang bertemu lagi dalam sebuah acara dengan
skenario Tuhan, takdir yang mempertemukan kami. Ini sudah jelas pertanda bahwa
aku dan Dien adalah jodoh.
“Apa kabar, Dien? Kapan pulang di tanah air?” tanyaku
ramah. Ah, aku malu mengakui bahwa senyumku bungah sekali.
“Kabar baik, kamu? Aku baru pulang minggu lalu, for this
special event” katanya diiringi seulas senyum manis.
“Spesial? Emang siapa yang wisuda? Adik kamu?”
Dien sudah membuka mulut, siap menjawab, namun seorang
gadis cantik memanggilnya, mengurungkan niatnya menjawabku. Gadis itu berjalan
anggun dengan baju kostum wisuda lengkap.
“Kirain mas gak jadi datang,” sapanya pada Dien. “Jadi
dong…” jawab Dien bangga. Kemudian percakapan ringan meluncur diantara
keduanya. Asyik sekali. Aku hanya memperhatikan, seperti sedang jadi obat
nyamuk, atau patung penjaga.
“Oh, ini adek kamu..” aku asal tebak. Menyela percakapan
mereka yang masih asyik. Ngga’ lucu banget kan aku jadi penonton mereka? Jadi
mending ikut nimbrung obrolannya saja.
“Bukan kak, saya tunangannya.” Jawab sang gadis cantik
masih bersama tawa bahagianya. Oh no! Tunangan? Apa aku salah dengar? Dunia
mendadak bergetar, aku kira merapi meletus. Nyatanya hatiku yang meletus. Patah
sudah pengharapan. Apa dia bilang? Tunangan? Berarti tak tersisa sepucuk pun
harapan bagiku.
“Kenalkan, Yash ini Neina tunanganku, Neina ini Yash
teman SMP mas dulu.” Dien mengenalkan kami. Aku tersenyum semanis yang kumampu,
aih, aku harus tampak baik-baik saja, tidak boleh kelihatan kecewa Dien sudah
bertunangan.
“Selamat ya, Neina .. semoga jadi sarjana yang
bermanfaat.” Kataku tulus.
“Makasih, kak…” jawab Neina lembut. Tak lama kemudian aku
pamit pada Dien dan tunangannya. Aku bergabung dengan Johan –adikku yang wisuda
–dan keluargaku. Sebenarnya aku masih shock. Dien sudah bertunangan, membuatku
meralat hipotesaku: Jodoh itu, jika sepasang muda-mudi yang memendam cinta,
berpisah, dan bertemu lagi, dengan catatan kedua-duanya tetap lajang pada
pertemuan yang diskenariokan Tuhan. Ingat! Masih sama-sama lajang.
Solo, Musim Kemarau 2014
“Halo lajang lapuk, hehee..” Aku cemberut. Tino justru
cengengesan di sampingku. Dengan santai dia meraih sebuah kursi, menjejeriku,
lantas mendudukinya.
“Halo juga bujang busuk,” timpalku ketus.
“Haduuuuhh… kalian berdua ini, sama-sama single, mbok ya
jangan saling menghina, kan mendingan disatukan aja, ya to?” Enan angkat
bicara.
“Enggak minat.” Tolakku tegas.
“Uiih… sadis Tin! Sabar ya broo…” Tino hanya terkekeh.
Dia tidak menggubrisku. Dia tetep di tempatnya, cengar-cengir padaku.
“Kenapa Yash? Patah hati lagi? Ehehhee..” Oh Gosh! Dia
bilang ‘lagi’? apakah maksud dia aku sudah sering patah hati? Makin malas saja
aku menanggapi. Tapi semakin aku marah, paling-paling Tino malah akan semakin
semangat menggodaku.
Aku tersenyum dibuat-buat, menghadap padanya, “Enggak
pernah patah hati, tuh.” Bantahku halus, bohongku. Dan well, memang sebenarnya
aku sedang patah hati sama si mister ‘tali sepatu’. Tega nian dia muncul lagi
kalau buntutnya cuma mau pamer status bertunangan? Bikin sakit hati saja.
“Aku denger pangeran harapanmu sudah mau nikah ya? Hmf.
Aku turut prihatin, Yash.” Ujarnya, entah tulus entah enggak.
Lagi-lagi aku tersenyum kaku, “Pangeranku belum mau nikah
kok, dia sekarang sedang nyariin aku, sebentar lagi juga ketemu.”
Tino tertawa. Enan ikut-ikutan. “Emang siapa pangeran
kamu?” katanya meremehkan.
“Dosen, kamu juga kenal.” Jawabku sembarangan. Aku
berharap saat begini semua malaikat yang berada di sekitar kami dan mendengar,
serentak mengucap “aamiiiinn”.
Enan bangkit dari duduknya “serius??”
Aku pun bangkit dari tempat dudukku, beranjak
meninggalkan mereka dengan berkata, “Penasaran? Hehhe.. tunggu tanggal
maennya!”
Aku sungguh berdoa, semoga ada pangeran sungguhan datang
padaku, tidak harus benar-benar dosen seperti yang aku katakan barusan. Siapa
saja yang sholeh. Untuk mengobati luka hatiku. Ah, sampe sepatuku sekarang
enggak pernah lagi yang ada talinya. Trauma tali sepatu. Padahal tali sepati enggak
pernah salah. Pun sebenarnya Dien juga tidak salah, dia bahkan tak pernah
menjanjikan apapun padaku, tidak pula memberi harapan. Satu-satunya yang salah
adalah hatiku yang mengharap. Harapan dan keinginan memang seringkali
menyakiti.
0 komentar:
Posting Komentar